Ketika matahari hampir sepenggalan kepala, rasa letih mulai menghampiriku karena dari pagi aku disibukkan dengan pekerjaan yang memang tanggung jawabku, pekerjaan rumah yang rasanya nggak pernah selesai-selesai. Huufh..
Ku melanggkah menuju kamar dan kedapati si kecil sedang tertidur pulas, sepertinya dia tengah terbuai dalam mimpinya yang indah, kulihat rona merah terpancar di kedua pipi dan ujung hidungnya.
“Duhai anakku, maafkan bundamu sayang, membiarkanmu ikut dalam kesengsaraanku”. Tapi yakinlah sayang, bapakmu tak akan membiarkan mu dan bundamu lebih lama seperti ini”. Kita berdo’a ya nak!
Eh… hampir aku lupa, ternyata masih ada yang belum selesai aku kerjakan. Melipat baju-baju mungil itu, baju-baju buah hatiku yang baru saja kering, karena hari ini matahari melimpahkan semua cahayanya ke bumi seolah-olah mulai bosan untuk menyinari bumi yang sudah tua ini.
Ku duduk bersimpuh, melipat melipat satu persatu-satu baju itu, pikiran ku melayang kemana-mana, membayangkan akan buah hatiku, membayangkan akan masa depan yang akan dihadapi dia, membayangkan semuanya yang belum bisa aku dan bapaknya persiapkan saat ini.
Terkadang aku tersenyum kecil bila mengingat tingkah lakunya yang lucu dan menggemaskan yang membuat letih dan lelahku terasa terobati.. “Duhai buah hatiku belahan jiwa dan jantungku”.
“Allahu Akbar.. Allaaaaahu Akbarrr”, seketika lamunanku buyar mendengarkan azan dari mesjid mengumandang adzan memanggil semua umat untuk menunaikan shalat zuhur..
Hmmmmmhh, kuhela nafasku sambil menjawab azan itu, ku melangkah kejendela kamar melihat keluar, melihat orang-orang mulai bergegas menuju rumah Allah untuk memenuhi kewajibannya sebagai manusia. Sebagai seorang hamba-Nya.
Setelah adzan selesai berkumandang, kembali aku duduk meneruskan kembali menata baju-baju mungil itu…
Aku tertegun sebentar, mataku menatap nanar ke bawah rak TV,..
Aku bergumam, bukankah itu sajadah pemberian suamiku, sajadah sebagai mahar dalam pernikahanku..
Masih terngiang di telingaku ketika dia mengucapakan : “Saya terima nikahnya Zainab binti Zainuri dengan maskawin seperangakat alat shalat… Tunai”.. Terbayang betapa lugas dan jelasnya suamiku mengucapkannya saat itu.. Aku tersenyum sendiri.. teringat betapa deg-degan hati ini ketika itu..
Tapi….
Kapan terakhir sajadah itu dipakai suamiku?
Kapan terakhir wajahnya basah dengan air wudhu?
Kapan terakhir dia mengajaku shalat berjamaah?
Sepertinya aku sudah lupa……!
Ku raih sajadah itu dan menciumnya..
Dan kulihat… betapa masih bagus dan masih bau pabrik..
Kembali aku berdiri berjalan menuju jendela kamar, kulihat makin banyak orang yang menuju ke arah rumah Allah itu…
Kulihat…
Laki-laki dengan sajadah lusuh ditangannya bergegas menuju mesjid seolah-olah takut ketinggalan untuk shalat berjamaah..
“Ya Allah yang maha pengampun, yang maha tahu…”
“Hamba ingin suami hamba ingin seperti orang itu…”
“Bergegas menuju rumah Mu, menghadap padamu denga sajadah lusuh sebagai alasnya…”
0 Response to "Doa Seorang Istri"
Post a Comment